JAKARTA, KOMPAS.com - Sampah makser sekali pakai dari sektor rumah tangga mengalami peningkatan di tengah pandemi Covid-19. Petugas kebersihan dan pemulung pun menjadi rentan terkena virus corona jenis baru (SARS-CoV-2). Hal tersebut karena banyak dari mereka yang belum mengenakan alat pelindung diri (APD), masker, dan sarung tangan ketika bekerja. “Pengetahuan, kewaspadaan, dan juga respons dari para petugas persampahan dan juga pemulung terhadap pandemi corona dan isu corona ini juga belum begitu tinggi pemahamannya,” ujar Founder of Greeneration Foundation & Waste4Change Bijaksana Junerosano, dalam konferensi pers, Rabu (8/4/2020). Pria yang akrab dipanggil Sano itu mengatakan, saat ini ada sekitar 300.000 petugas kebersihan dan sekitar 600.000 pemulung di Indonesia yang setiap hari berurusan dengan sampah rumah tangga. Mereka berpotensi terinfeksi Covid-19 karena saat ini banyak ditemukan masker sekali pakai, tissue, dan botol bekas hand sanitizer dan disinfektan dalam sampah rumah tangga yang berpotensi jadi tempat penyebaran SARS-CoV-2. “Sampah yang dihasilkan masyarakat ini punya potensi menyebarkan corona jika tidak diperhatikan dengan baik, dan petugas persampahan itu juga memiliki potensi terpapar virus corona dan menyebarkan virus corona tersebut,” Pemerintah, lanjut Sano, memang sudah mengeluarkan surat edaran mengenai penanganan sampah pada masa pandemi Covid-19. Namun, masih banyak petugas sampah yang masih belum bisa menerapkan karena kesulitan memenuhi kebutuhan APD. “Realita di lapangan ternyata rekan-rekan di daerah masih cukup gamang dan belum bisa menyikapi cepat terkait surat edaran tersebut,” kata Seno. Adapun pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) yang bersumber dari rumah tangga berpedoman pada Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 2 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Sumber: Kompas.com
Baca lebih lanjut...Jakarta (ANTARA) - Masih banyak pertanyaan belum terpecahkan tentang severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) penyebab coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang hingga 30 April 2020 telah menewaskan 217.769 orang di seluruh dunia. Penyakit yang disebut-sebut merupakan zoonosis tersebut pertama muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada Desember 2019. Namun masih ada pula negara dan masyarakat dunia yang menyangsikan virus penyebab penyakit COVID-19 tersebut berasal dari kelelawar. Begitu cepat virus menyebar dan menginfeksi sistem pernafasan, berdampak fatalitas. Harus diakui, kecepatan infeksi virus membuat banyak negara tergagap oleh krisis kesehatan tersebut. Meski ada pula yang sukses mengendalikannya di level klaster seperti Selandia Baru, Vietnam, Korea Selatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) awalnya menyebutkan bahwa penularan SARS-CoV-2 melalui tetesan kecil (droplet) dari batuk atau bersin orang yang positif lalu membawa virus tersebut ke tubuh orang lain. Karenanya, hanya mereka yang sakit yang diwajibkan mengenakan masker selain petugas medis dan mereka yang berhubungan langsung dengan pasien COVID-19 tentunya. Munculnya hasil penelitian yang menemukan virus Corona baru juga diduga menyebar melalui aerosol membuat WHO menganjurkan penggunaan masker untuk masyarakat yang sehat saat beraktivitas di luar rumah sebagai bentuk antisipasi. Pasalnya, ada orang-orang yang terlihat sehat, tak tampak gejala sama sekali, namun tanpa mereka ketahui ternyata telah memiliki virus tersebut di tubuhnya. Itu yang dikhawatirkan menjadi sumber penularan yang sulit dideteksi. “Menumpangi” polutan? Sebuah hasil analisis awal yang dilaporkan tim peneliti dari setidaknya sembilan universitas dan lembaga penelitian di Italia pada 24 April 2020 lalu yang fokus mencari tahu kaitan antara partikel polutan dan SARS-CoV-2, mendapati virus tersebut ditemukan pada materi partikulat lebih kecil dari 10 mikron (PM10) di Provinsi Bergamo, sebuah wilayah di bagian utara Italia yang juga diketahui sebagai pusat industri. Tingkat infeksi SARS-CoV-2 di daerah-daerah yang berada di Lombardy dan Lembah Po yang merupakan wilayah di bagian utara Italia memang tercatat tinggi. Daerah-daerah tersebut juga diketahui memiliki polutan dengan konsentrasi tinggi yang juga diketahui memiliki efek negatif pada kesehatan manusia. Italia mencatat 30 persen pasien positif COVID-19 di negara tersebut hidup di Lombardy, sedangkan 13,5 persen pasien yang terinfeksi virus yang sama hidup di Emilia Romagna, 10,5 persen ada di Piedmont dan 10 persen lainnya ada di Veneto. Sebelumnya sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health mengonfirmasi hubungan antara peningkatan konsentrasi PM dan tingkat kematian karena COVID-19. Kondisi itu yang juga melatari Leonardo Setti dan rekan-rekannya melakukan penelitian tersebut dan menghasilkan analisis awal berjudul SARS-Cov-2 RNA Found on Particulate Matter of Bergamo in Northern Italy: First Preliminary Evidence yang dimuat di medRxiv. Hasil analisis awal mereka didapat dari meneliti 34 sampel PM10 luar ruang atau udara dari lokasi industri Provinsi Bergamo yang dikumpulkan dengan dua sampel udara berbeda selama periode tiga minggu secara terus menerus, dari 21 Februari sampai dengan 13 Maret 2020. Sampel-sampel tersebut dites dan telah menunjukkan secara wajar keberadaan ribonucleic acid (RNA) virus SARS-CoV-2 dengan mendeteksi gen RtDR yang sangat spesifik pada delapan filter dalam dua analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) paralel. Sekali lagi hasil penelitian tersebut hanya analisis awal, sehingga tidak boleh digunakan untuk memandu praktik klinis. Setti dan rekan-rekannya juga menegaskan masih perlu ada konfirmasi lebih lanjut dari bukti awal itu dan saat ini sedang berlangsung, dan harus mencakup penilaian real-time tentang vitalitas SARS-CoV-2 serta virulensi ketika teradsorpsi pada partikel. Saat ini, tidak ada asumsi yang dapat dibuat mengenai korelasi antara keberadaan virus pada PM dan pengembangan wabah COVID-19. Penelitian tambahan Hal senada juga disampaikan Guru Besar Universitas Indonesia (Gubes UI) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof Dr Budi Haryanto, bahwa penelitian awal itu masih harus ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian lain untuk mengonfirmasi kebenaran hasil penelitian awal, harus konklusif. WHO yang, menurut dia, memiliki wewenang menetapkan apakah penularan virus tersebut ada di udara (airborne) atau tidak. Prof Budi mengatakan ketika SARS-CoV-2 benar ada di PM10 artinya virus tersebut ada di udara. Itu akan menjadi lebih mengerikan karena bisa terbang ke mana-mana. Karenanya ia menegaskan harus ada penelitian tambahan, karena jika benar virus dapat melekat pada PM10 atau udara maka itu mematahkan pemahaman sebelumnya bahwa cara hidup SARS-CoV-2 yang selama ini diketahui “rumahnya” di cairan, dalam hal ini tetesan kecil (droplet). “HIV sama, harus ada medianya. Tapi ketika darah itu kering dia akan mati. Harus ada ‘kendaraannya’. Sampai sekarang COVID-19 ini masih dengan ‘kendaraan’ droplet. Jadi harus menunggu (hasil penelitian lain), kalau konklusif maka WHO akan sebutkan itu ‘airborne’,” ujar Prof Budi. Kasubdit Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Suradi pun mengatakan penelitian tersebut masih harus dikembangkan. Ukuran virus penyebab COVID-19 sekitar 0,12 mikron. Namun, ia mengatakan perlu dipahami kalau seandainya benar SARS-CoV-2 ternyata airborne maka tidak mungkin virus tersebut “telanjang”. Artinya, kalau melayang-melayang di udara maka virus tersebut akan terselubungi oleh fluida sehingga ukurannya akan bergantung dari seberapa lama masa hidupnya di udara. SARS-CoV-2, diakui para ilmuwan dan akademisi memiliki karakter unik dan sering kali tak terduga. Masih butuh banyak penelitian untuk dapat membuka satu per satu tabir yang menyelimutinya. Suumber: Antaranews.com
Baca lebih lanjut...Jakarta (ANTARA) - Sejumlah hasil penelitian menyebutkan korelasi pencemaran udara dengan jumlah infeksi virus Corona baru penyebab COVID-19, sehingga membuat organisasi dan lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup meminta pemerintah untuk mengendalikan pencemaran udara. Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah dalam media briefing Pandemi Corona dan Polusi Udara, Bagaimana Keterkaitannya? di Jakarta, Kamis, mengatakan pencemaran udara telah menyebabkan banyak masalah kesehatan serta lingkungan. Ia menilai lambannya pengendalian pencemaran udara akhirnya kini memperparah risiko penyakit yang berhubungan dengan COVID-19. Kualitas udara jelas tidak bisa dipisahkan dengan timbulan penyakit seperti saat ini, jadi pengendalian pencemaran bobotnya menjadi semakin penting. “Perbaikan kualitas udara tidak saja hanya akan menguntungkan kesehatan masyarakat di saat keadaan normal, tapi juga semakin penting dalam situasi pandemi seperti saat ini," ujar dia. Langkah pengendalian pencemaran udara bisa diawali dengan publikasi informasi tentang kualitas udara yang lengkap, mulai dari ambien, emisi, meteorologis dan geografis. Publikasi informasi tentang kualitas udara tidak saja penting untuk menyampaikan dampak atau risiko kepada masyarakat, tapi juga untuk memastikan akuntabilitas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara, kata Fajri. "Kami kampanyekan beberapa tahun belakang agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pengendalian pencemaran berbukti ilmiah. Ini penting karena ke depannya keputusan pemerintah untuk kendalikan pencemaran udara tentu akan mempertimbangkan data sebelum-sebelumnya," ujar dia. Menurut dia, Indonesia dapat melihat contoh baik yang terjadi di China yang sejak 2014 membuka informasi terkait pengendalian polusi udaranya. Dengan keterbukaan informasi di sana asisten profesor di MIT Sloan School of Management, Cambridge, dapat meneliti penurunan emisi dari sumber-sumber pencemaran seperti dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, gas dan biomassa, sehingga masyarakat dan peneliti juga dapat mengikuti seberapa jauh pencemaran udara sudah berkurang. Sebelumnya, Guru Besar Universitas Indonesia (Gubes UI) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof Dr Budi Haryanto mengatakan penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan pasien COVID-19. Prof Budi mengatakan studi terbaru dari Harvard University memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena COVID-19. Penelitian tersebut mendapati adanya kaitan antara peningkatan 1 ?g/m3 PM2.5 dengan kualitas udara saat ini, dapat berdampak pada 15 persen tingkat kematian akibat COVID-19. Dengan hasil penelitian Universitas Harvard yang menemukan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 mencapai 4,5 kali lipat pada wilayah dengan polusi PM 2.5 yang tinggi, dibandingkan yang berpolusi rendah, menurut dia, artinya COVID-19 sangat mampu memperparah dampak kesehatan akibat polusi udara. Sumber: antaranews.com
Baca lebih lanjut...Derajat kesehatan masyarakat sesungguhnya bukan hanya soal pelayanan kesehatan, tetapi juga faktor lingkungan. Bahkan, hal itu memiliki pengaruh hingga 40 persen. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dalam Rapat Kerja Nasional Indonesia Bersih yang di Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kamis (21/2/2019). Adapun, acara tersebut digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian LHK. Nila mengungkapkan mengenai Teori H.L. Blum dalam kesempatan tersebut. Seperti dikutip dari rilis di sehatnegeriku.kemkes.go.id pada Jumat (22/2/2019), derajat kesehatan ditentukan oleh 40 persen faktor lingkungan, 30 persen faktor perilaku, 20 persen pelayanan kesehatan, dan 10 persen genetika atau keturunan. Sehingga, demi mencapai kesehatan yang baik, menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi adalah faktor penentu tertinggi demi meningkatkan kesehatan masyarakat. Masalahnya, yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini faktor pelayanan kesehatan dianggap yang paling menentukan. "Kalau betul-betul memperhatikan lingkungan, faktor pelayanan kesehatan hanya 20 persen," kata Nila.
Baca lebih lanjut...Pencemaran limbah industri logam di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna dan pencemaran air dari pengolahan limbah di Desa Karangdawa Kecamatan Margasari Kabupaten Tegal dinilai sangat mengkhawatirkan. Selain diduga telah mencemari lingkungan, limbah juga berdampak buruk pada masalah kesehatan masyarakat di sekitarnya. Di Karangdawa, warga mengeluh sering merasakan gatal-gatal. Sedangkan di Desa Pesarean, warga mengeluh sering sesak napas dan beberapa meninggal dunia karena penyakit paru-paru. Dari hasil uji sampel daerah yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jateng tahun 2011 terhadap 50 warga Desa Pesarean, tercatat sebanyak 46 orang telah tercemar timbal. Bahkan, beberapa tahun yang lalu terdapat anak yang lahir dalam kondisi cacat, baik lumpuh atau pun keterbelakangan mental. Tidak hanya dari resapan air, pencemaran juga bisa disalurkan melalui udara. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tegal tidak bisa mengatakan secara spesifik penyakit apa yang ditimbulkan dari pencemaran limbah di dua desa tersebut. "Perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi terkait permasalahan tersebut. Pemkab Tegal maupun masyarakat harus bersama-sama mencari solusinya," kata Kepala Dinkes Kabupaten Tegal, Hendadi Setiaji. Menurutnya, untuk mengatasi pencemaran limbah ini, sebaiknya dibentuk tim khusus penanganan pencemaran lingkungan yang disesuaikan dengan tugas masing-masing. Misalnya, dari bidang kesehatan nantinya akan melakukan analisis resiko kesehatan lingkungan (ARKL) terutama untuk imbas atau efek terhadap kualitas lingkungan dan yang terjadi pada masyarakat. Kemudian, Dinas Lingkungan Hidup bisa melakukan audit lingkungan serta AMDAL terutama pada kualitas lingkungan emisi atau sumber pencemaran. "Harus dilakukan pemeriksaan kualitas lingkungan secara menyeluruh, baik udara, air, tanah maupun manusia dan mahhluk hidup lainnya seperti tanaman di sekitarnya yang dimungkinkan terkena dampak pencemaran," jelasnya. Dari hasil tersebut dilakukan kajian guna pengambilan langkah yg harus dilakukan baik jangka pendek, menengah dan panjang. Disamping itu, kata dia, perlu adanya edukasi pada masyarakat terutama pengusaha, pekerja serta warga sekitarnya tentang bahaya industri yang pengelolaannya tidak sesuai standar, sehingga berakibat mencemari lingkungan. Sumber : TRIBUNJATENG.COM
Baca lebih lanjut...Menjaga Kesehatan Lingkungan merupakan suatu kewajiban bagi setiap individu, selain merupakan anugerah yang diberikan sang pencipta kepada hamba-Nya, Kesehatan Lingkungan harus tetap dijaga agar keluarga kita terhindar penyakit. Karena kesehatan tidak ternilai harganya. Terkadang pada saat kita sehat, kita lupa akan nikmat tersebut dan ketika sakit kita baru sadar dan merasakan betapa kesehatan itu sungguh sangat berharga. Tubuh yang sehat bisa didapatkan dari berolahraga secara teratur, menkomsumsi makananan bergizi, dan lingkungan yang sehat dan bersih. Lingkungan yang sehat terkadang sering tidak kita perhatikan karena kesibukan dalam bekerja sehingga lingkungan sekitar tidak dijaga kebersihannya. Akibat dari lingkungan yang tidak sehat dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, salah satu yang mengkhawatirkan adalah deman berdarah (DBD) karena dapat menyebabkan kematian. Kebersihan lingkungan merupakan keadaan bebas dari kotoran, termasuk di dalamnya, debu, sampah, dan bau. Di Indonesia, masalah kebersihan lingkungan selalu menjadi perdebatan dan masalah yang berkembang. Kasus-kasus yang menyangkut masalah kebersihan lingkungan setiap tahunnya terus meningkat. Kita harus tahu tentang manfaat menjaga kebersihan lingkungan, karena menjaga kebersihan lingkungan sangatlah berguna untuk kita semua karena dapat menciptakan kehidupan yang aman, bersih, sejuk dan sehat. Manfaat menjaga kebersihan lingkungan antara lain: Terhindar dari penyakit yang disebabkan lingkungan yang tidak sehat. Lingkungan menjadi lebih sejuk. Bebas dari polusi udara. Air menjadi lebih bersih dan aman untuk di minum. Lebih tenang dalam menjalankan aktifitas sehari hari. Masih banyak lagi manfaat menjaga kebersihan lingkungan, maka dari itu kita harus menyadari akan pentingnya kebersihan lingkungan mulai dari rumah kita sendiri misalnya rajin menyapu halaman rumah, rajin membersihkan selokan rumah kita, membuang sampah pada tempatnya, pokoknya masih banyak lagi. Lingkungan akan lebih baik jika semua orang sadar dan bertanggungjawab akan kebersihan lingkungan, karena hal itu harus ditanamkan sejak dini, di sekolah pun kita diajarkan untuk selalu hidup bersih. Di agama islam pun kita di ajarkan untuk selalu hidup bersih, karena kebersihan adalah sebagaian dari iman. Selain hal yang disampaikan diatas kita juga harus saling mendukung agar tercapainya tujuan kita dalam menjaga kesehatan lingkungan bersama, agar tidak terjadi penyakit ataupun hal-hal yang tidak diinginkan dimasa mendatang, serta agar lingkungan kita tetap bias dinikmati hingga anak cucu kita kelak. Berikut Tips dan trik menjaga kebersihan lingkungan : Dimulai dari diri sendiri dengan cara memberi contoh kepada masyarakat bagaimana menjaga kebersihan lingkungan. Selalu Libatkan tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Sertkan para pemuda untuk ikut aktif menjaga kebersihan lingkungan. Perbanyak tempat sampah di sekitar lingkungan anda; Pekerjakan petugas kebersihan lingkungan dengan memberi imbalan yang sesuai setiap bulannya. Sosialisakan kepada masyarakat untuk terbiasa memilah sampah rumah tangga menjadi sampah organik dan non organik. Pelajari teknologi pembuatan kompos dari sampah organik agar dapat dimanfaatkan kembali untuk pupuk; Kreatif, Dengan membuat souvenir atau kerajinan tangan dengan memanfaatkan sampah. Atur jadwal untuk kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan. Sumber: www.bulelengkab.go.id
Baca lebih lanjut...Jakarta Derajat kesehatan masyarakat sesungguhnya bukan hanya soal pelayanan kesehatan, tetapi juga faktor lingkungan. Bahkan, hal itu memiliki pengaruh hingga 40 persen. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dalam Rapat Kerja Nasional Indonesia Bersih yang di Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Kamis (21/2/2019). Adapun, acara tersebut digelar oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Kementerian LHK. Nila mengungkapkan mengenai Teori H.L. Blum dalam kesempatan tersebut. Seperti dikutip dari rilis di sehatnegeriku.kemkes.go.id pada Jumat (22/2/2019), derajat kesehatan ditentukan oleh 40 persen faktor lingkungan, 30 persen faktor perilaku, 20 persen pelayanan kesehatan, dan 10 persen genetika atau keturunan. Sehingga, demi mencapai kesehatan yang baik, menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi adalah faktor penentu tertinggi demi meningkatkan kesehatan masyarakat. Masalahnya, yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini faktor pelayanan kesehatan dianggap yang paling menentukan. "Kalau betul-betul memperhatikan lingkungan, faktor pelayanan kesehatan hanya 20 persen," kata Nila.
Baca lebih lanjut...Dampak plastic terhadap lingkungan merupakan akibat negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah plastik. Dampak ini ternyata sangat signifikan. Sebagaimana yang diketahui, plastik yang mulai digunakan sekitar 50 tahun yang silam, kini telah menjadi barang yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Diperkirakan ada 500 juta sampai 1 milyar kantong plastik digunakan penduduk dunia dalam satu tahun. Ini berarti ada sekitar 1 juta kantong plastik per menit. Untuk membuatnya, diperlukan 12 juta barel minyak per tahun, dan 14 juta pohon ditebang. Konsumsi berlebih terhadap plastik, pun mengakibatkan jumlah sampah plastik yang besar. Karena bukan berasal dari senyawa biologis, plastik memiliki sifat sulit terdegradasi (non-biodegradable). Plastik diperkirakan membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun hingga dapat terdekomposisi (terurai) dengan sempurna. Sampah kantong plastik dapat mencemari tanah, air, laut, bahkan udara. Kantong plastik terbuat dari penyulingan gas dan minyak yang disebut ethylene. Minyak, gas dan batu bara mentah adalah sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Semakin banyak penggunaan palstik berarti semakin cepat menghabiskan sumber daya alam tersebut. Fakta tentang bahan pembuat plastik, (umumnya polimer polivinil) terbuat dari polychlorinated biphenyl (PCB) yang mempunyai struktur mirip DDT. Serta kantong plastik yang sulit untuk diurai oleh tanah hingga membutuhkan waktu antara 100 hingga 500 tahun. Akan memberikan akibat antara lain: Tercemarnya tanah, air tanah dan makhluk bawah tanah. Racun-racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah akan membunuh hewan-hewan pengurai di dalam tanah seperti cacing. PCB yang tidak dapat terurai meskipun termakan oleh binatang maupun tanaman akan menjadi racun berantai sesuai urutan rantai makanan. Kantong plastik akan mengganggu jalur air yang teresap ke dalam tanah. Menurunkan kesuburan tanah karena plastik juga menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang gerak makhluk bawah tanah yang mampu meyuburkan tanah. Kantong plastik yang sukar diurai, mempunyai umur panjang, dan ringan akan mudah diterbangkan angin hingga ke laut sekalipun. Hewan-hewan dapat terjerat dalam tumpukan plastik. Hewan-hewan laut seperti lumba-lumba, penyu laut, dan anjing laut menganggap kantong-kantong plastik tersebut makanan dan akhirnya mati karena tidak dapat mencernanya. Ketika hewan mati, kantong plastik yang berada di dalam tubuhnya tetap tidak akan hancur menjadi bangkai dan dapat meracuni hewan lainnya. Pembuangan sampah plastik sembarangan di sungai-sungai akan mengakibatkan pendangkalan sungai dan penyumbatan aliran sungai yang menyebabkan banjir. Untuk menanggulangi sampah plastik beberapa pihak mencoba untuk membakarnya. Tetapi proses pembakaran yang kurang sempurna dan tidak mengurai partikel-partikel plastik dengan sempurna maka akan menjadi dioksin di udara. Bila manusia menghirup dioksin ini manusia akan rentan terhadap berbagai penyakit di antaranya kanker, gangguan sistem syaraf, hepatitis, pembengkakan hati, dan gejala depresi. Terus gimana, dong?. Kita memang tidak mungkin bisa menghapuskan penggunaan kantong plastik 100%, tetapi yang paling memungkinkan adalah dengan memakai ulang plastik (reuse), mengurangi pemakaian plastik (reduce), dan mendaur ulang (recycle). Terakhir, mungkin perlu regulasi dari pemerintah untuk meredam semakin meningkatnya penggunaan plastik. sumber: bulelengkab.go.id
Baca lebih lanjut...Sejarah Hakli Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan (HAKLI) adalah organisasi profesi sebagai wadah pemersatu dan pembina profesional kesehatan lingkungan yang secara khas beragam dan berjenjang dari latar belakang pendidikan, lapangan kerja, posisi, peran dan jalur peminatan menjadi satu kesatuan jejaring fungsional dengan keahlian kesehatan lingkungan. HAKLI dibentuk dan didirikan pada tanggal 12 April 1980. Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) merupakan Organisasi yang menghimpun para ahli kesehatan lingkungan, yang mana organisasi ini berorientasi pada kesehatan masyarakat serta juga berorientasi pada berbagai konsep diluar kesehatan masyarakat seperti pelestarian alam, sistem lingkungan, kelengkapan body of knewledge dalam kesatuan pendekatan multidisipliner dan hal-hal lain tentang Kesehatan Lingkungan.Kesehatan lingkungan adalah kondisi lingkungan yang mampu menompang keseimbangan yang dinamis antara manusia dan lingkungan untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat, aman, nyaman dan bersih. Dirgahayu HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan) Dari Kami PT. INDO TEKHNOPLUS
Baca lebih lanjut...